Teladan dari Buya
Senin, 26 Desember 2011
‘’Hidup adalah perjuangan’’. Bagi Buya Hamka, kalimat
ini bukan sekadar slogan kosong. Hamka menghabiskan hidupnya berjuang di era kolonial Belanda, Jepang,
Orde Lama, dan Orde Baru.
Pada masa penjajahan
Belanda, Hamka berjuang lewat jalur intelektual, spiritual, dan bahkan fisik
bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional, terutama melalui Syarikat Islam dan Muhammadiyah.
Pada masa revolusi 1945-1949, Hamka ditunjuk Wapres Mohammad Hatta sebagai Sekretaris Front Pertahanan Nasional yaitu Himpunan
Parpol Sumatera Barat dalam bersatu melawan Belanda. Dia juga
ikut mendirikan Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK), yaitu pasukan rakyat sebagai basis kekuatan perang gerilya di Sumbar.
Akibat agresi Belanda, semua kota di Sumbar sempat jatuh. Sebagai Ketua BPNK waktu itu, Hamka turut
bergerilya melawan kolonial; Berjalan kaki masuk-keluar hutan, mendaki dan
menuruni bukit-bukit, dalam upaya mengobarkan semangat rakyat melawan penjajah
Belanda merebut Sumbar.
Hamka juga memperkenalkan
Komisi Tiga Negara (KTN) kepada rakyat sewaktu KTN berkunjung ke Bukittinggi.
Sambutan yang positif dari rakyat terhadap KTN ini adalah berkat peranan Hamka
yang telah menyampaikan orasi memukau menjelaskan maksud dan arti penting KTN
dalam proses kemerdekaan Indonesia.
Ketika kolonial Jepang mengambil alih
pendudukan penjajah Belanda pada 1942, majalah Pedoman Masyarakat pimpinan
Hamka dibredel. Hamka lalu menerbitkan Majalah Semangat Islam bersama
Yunan Nasution dan Yusuf Ahmad. Selain itu ia lebih fokus memimpin Muhammadiyah
wilayah Sumatera bagian Timur.
Setelah Partai Masyumi dibubarkan
penguasa, Hamka tidak lagi terjun ke politik praktis. Ia membidani penerbitan
majalah Panji Masyarakat sebagai kelanjutan Pedoman Masyarakat yang ia terbitkan saat tinggal di Medan.
Melalui media ini, Hamka terus mengkritisi pemerintahan
Soekarno yang mesra dengan komunis.
Kritik juga disampaikannya
dalam berdakwah memimpin jamaah di mesjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru,
Jakarta.
Surat-surat kabar komunis
pada masa itu semisal Harian Rakyat dan Bintang
Timur, dan koran-koran nasionalis
pendukung Soekarno, tiap hari menyerang Hamka di halaman pertama (headline)
dengan huruf-huruf kapital. Antara lain mengatakan: ”Neo-Masyumi” muncul di Mesjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta.
Panji Masyarakat dibreidel penguasa, setelah memuat tulisan Mohammad Hatta yang
berjudul “Demokrasi Kita”. Dalam tulisan itu, Hatta mengkritik keras
konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno. Ia menguraikan secara menyeluruh semua
pelanggaran-pelanggaran konstitusional yang telah dilakukan oleh regim
Soekarno.
Selanjutnya pada 27 Agustus 1964, dengan dalih UU Antisubversif, pemerintahan Soekarno memenjarakan Hamka bersama beberapa pemimpin Masyumi.
Di era Pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, Hamka turut memprakarsai
Musyawarah Antar Umat Beragama. Forum ini mempertemukan pemerintah dan ulama Islam
dengan pemimpin Kristen untuk meredakan pertikaian-perselisihan yang kerapkali
terjadi pada masa itu. Dari kalangan Islam hadir antara lain Mohammad Natsir,
Idham Khalid, Profesor Rosyidi, dan Hamka.
Sementara dari Kristen Katholik antara lain: Simatupang dan J Leimena.
Pertemuan gagal menghasilkan kesepakatan,
lantaran pihak
Kristen tidak mau menandatangani aturan main dakwah.
Pada 26 Juli 1975, Hamka terpilih menjadi Ketua Umum MUI. Dalam jabatannya ini, ia menolak
keinginan Presiden Soeharto untuk mengakui golongan
kepercayaan dengan mencantumannya dalam GBHN. Bagi Hamka, pengakuan itu adalah wujud perbuatan syirik, yang sangat dikutuk Allah
SWT.
Setelah terpilih sebagai
pemimpin MUI kali kedua, Hamka menolak pemaksaan asas tunggal Pancasila.
Hamka akhirnya memilih
mundur dari MUI karena
tak sudi mencabut fatwa haramnya Perayaan
Natal Bersama. (bowo)
0 komentar:
Posting Komentar